Saturday, May 26, 2018

Seandainya Saya Menjadi Fasilitator Bunda Sayang

Alhamdulillah, sampai juga saya ke jenjang fasilitator berikutnya setelah dua kali berkecimpung menjadi fasilitator matrikulasi. Di matrikulasi batch 4, saya menjadi fasilitator di kelas online Sumatera Utara dan di matrikulasi batch 5, saya menjadi fasilitator kelas Tangsel Offline.

Online dan offline, keduanya memiliki kelebihan masing-masing. Saya sendiri termasuk ke dalam peserta kelas online Bunda Sayang batch 2 Tangsel. Sewaktu di cawu 1, fasilitatornya adalah Mba Nesri Baidani. Mba Nesri, yang terkenal dengan the power of question-nya, memang benar-benar tegas dan "makjleb" dalam menjawab pertanyaan. Tetapi dari jawaban-jawabannya yang singkat dan padatlah, saya jadi banyak termenung dan belajar. Menjadi refleksi diri dan menggelitik untuk berpikir sendiri. Memang seperti itulah baiknya pembelajaran untuk orang dewasa: menemukan jawabannya sendiri sehingga dapat mengaplikasikannya tanpa paksaan dari orang lain.

Saat cawu 2, fasilitatornya adalah Mba Farida Ariyani, Leader IP Depok. Mba Farida yang selalu menyajikan pendukung-pendukung materi, membuat peserta senantiasa mencari tahu lebih dalam daripada sekedar membaca materi yang dibagikan dari tim fasilitator pusat. Diskusi yang bermulai dari sebuah pertanyaan sangat membangkitkan curiosity peserta sehingga dapat mengumpulkan jawaban-jawaban dan kesimpulan dari hasil diskusi peserta. Keaktifan peserta dalam diskusi meningkat ketika Mba Farida mendampingi kami.

Di cawu 3 ini, fasilitatornya adalah Manajer Bunda Sayang IIP, Teh Dzikra I. Ulya yang biasa disapa Teh Chika. Teh Chika yang terkenal dengan high tech-nya serta pastinya memiliki manajemen waktu dan gadget yang sangat baik, mengingat memegang seluruh batch Bunda Sayang serta amanah-amanah yang lain: Leader IP Cianjur serta fasilitator anak-anaknya yang homeschooling. Masya Allah, saya membayangkannya saja pasti Teh Chika sibuk sekali ya, Teh. Di kelas, Teh Chika menyajikan materi dengan cara yang tidak biasa, seperti saat materi tentang kreativitas. Benar-benar kreatif materinya, bukan berupa bacaan dengan serangkaian tulisan panjang, tetapi berupa gambar dan tulisan singkat yang benar-benar mengasah sisi kreativitas peserta. Dan di level 11, kami diminta presentasi sendiri per kelompok tentang fitrah seksualitas. Learning by teaching istilah kerennya. Dimana benar sekali yang tergambar dalam piramida metode pembelajaran, bahwa mengajarkan adalah level tertinggi belajar. Sungguh sangat menginspirasi! :)

Dari mereka, saya belajar banyak bagaimana seharusnya menjadi fasilitator bunda sayang. Membuat peserta belajar sendiri, mencari referensi lain selain materi yang diberikan, menjalin kedekatan dengan peserta agar peserta aktif berdiskusi, menggelitik sisi intellectual curiousity-nya, menjadikan pembelajaran menjadi suatu yang berbeda tiap levelnya, dan tak kalah penting: manajemen waktu dan gadget yang mumpuni.

Di Tangsel sendiri sementara ini, sudah ada Mba Harnum Annisa yang sudah dinyatakan lulus menjadi fasilitator Bunda Sayang batch 4. Mba Nisa lebih memilih kelas online untuk diampu. Oleh karena itu, saya kembali ingin menjadi fasilitator offline di kelas bunsay. Selain agar peserta yang tertarik dengan kelas offline ada wadahnya, saya juga sedang mengasah bakat communication saya yang ternyata termasuk salah satu bakat dominan menurut hasil ST30. 

Belajar tatap muka itu menurut saya berbeda feel-nya. Semangatnya mudah menular, komitmen kehadiran, konsistensi, kekeluargaan, kehangatan, dan kebersamaan begitu terasa. Seperti memiliki keluarga baru yang satu frekuensi begitu. Ditambah lagi, dengan banyaknya grup dan chat WA, kelas offline menurut saya dapat memberikan pemahaman yang mendalam. Seperti yang saya baca di open house sepekan bunda sayang lalu, fasilitator bunsay Bandung mengadakan games-games yang berbeda sesuai tema levelnya. Menurut saya hal ini sangat menarik untuk diulik dan dipraktikkan bersama para peserta nanti.

Di Tangsel, bunsay batch 3 juga sudah ada kelas offline dengan Mba Nani Nurhasanah sebagai fasilitatornya. Saya pernah mengikuti sekali kelasnya dalam rangka belajar menjadi fasilitator matrikulasi offline kala itu. Dan ternyata Mba Nani pun sangat baik dalam menjalani perannya ketika menjadi fasilitator offline, mengetahui teknik-teknik fasilitasi, karena sebelumnya beliau tergabung di Indonesia Mengajar. Mba Nani pun sudah menawarkan untuk sharing tentang teknik-teknik fasilitasi ini kepada yang berminat di grup pengurus. Tentunya saya jawab mauuu hehehe.. Semoga bisa belajar lebih banyak lagi dari Mba Nani ataupun fasilitator-fasilitator lainnya aamiin..

Menjadi fasilitator bagi saya adalah sarana pay it forward. Ketika Ibu Septi dengan program institutnya yang begitu menginspirasi banyak ibu agar menjadi ibu yang lebih baik lagi. Ketika Mba Adit dan Mba Fitri menjadi fasil matrikulasi saya, menjadikan saya menemukan diri ini kembali setelah berubah status dari ibu yang bekerja di ranah publik menjadi ibu yang bekerja di ranah domestik bahagia. Ketika Mba Nesri, Mba Farida, dan Teh Chika yang menjadi diri sendiri dan fasilitator terbaik versi masing-masing, ada keinginan untuk melayani teman-teman lainnya agar dapat merasakan kelas bunda sayang ini. Karena bila tidak ada fasilnya, tentu kelas bunsay tidak dapat berjalan. Semoga saya lulus ya Teh Chika hehehe.. dan berjuang menjadi versi terbaik diri saya. Aamiin!

No comments:

Post a Comment