Friday, May 18, 2018

Game Level 11: Learning by Teaching Fitrah Seksualitas (Day 1)

Level 11 kelas bunsay kali ini sungguh menantang. Materi tidak lagi diberikan oleh fasilitator, melainkan oleh teman-teman sekelas yang dibagi dalam beberapa kelompok. Istilahnya "learning by teaching". Seru yaa.. Dengan metode ini, materi yang didapat akan jauh lebih melekat daripada hanya sekedar membaca materi. Jadi ingat piramida pembelajaran:

Dengan mengajarkan berarti kita telah belajar sebanyak 95%

Presentasi dilakukan secara online di grup kelas. Ada 10 kelompok terdiri dari 3-5 orang yang mengambil satu tema tentang Fitrah Seksualitas. Setiap hari ada 1 kelompok yang mempresentasikan materinya dan tantangan 10 harinya berupa review materi setiap kelompok.

Untuk hari pertama yang melakukan presentasi adalah Kelompok 1 yang digawangi oleh Mba Wenti Indrianita, Mba Qathrunnada, Mba Lafrania Taufik, Mba Wulan Agustina, dan Mba Poppi Rosepti. Mba Poppi sebagai host dan moderator, Mba Wenti sebagai pemateri, Mba Lafra, Mba Wenti, dan Mba Wulan yang menjawab pertanyaan, serta Mba Qathrunnada yang menuliskan penutup. 

Presentasinya dilakukan kemarin hari Kamis, 17 Mei 2018, pukul 13.00. Saya sedang tidak bisa online saat itu dan baru bisa membaca saat malam hari. Meskipun demikian, alhamdulillah pertanyaan yang saya ajukan masih direspon oleh Mba Wenti. :)

Berikut presentasi Kelompok 1 dengan tema: 
Pentingnya Peranan Keluarga dalam Menguatkan Fitrah Seksualitas Anak

Kami mengambil tema umum terkait peranan orang tua krn kami sadar bahwa walau bagaimanapun sosok orang tua adalah sosok terdekat dan sosok yg dikenal anak untuk pertama kalinya dalam kehidupannya.

Apa itu fitrah seksualitas? 

Menurut Harry Santosa, fitrah seksualitas adalah bagaimana seseorang berpikir, merasa dan bersikap sesuai fitrahnya sebagai laki-laki sejati atau sebagai perempuan sejati. Dan untuk menguatkan fitrah seksualitas pada anak, sangat dibutuhkan peranan dan ikatan dengan ayah dan ibunya.

Sedangkan menurut lembaga koalisi perempuan, menyebutkan istilah lain yaitu sosialisasi gender. Sosialisasi gender adalah suatu proses belajar menjadi perempuan dan menjadi laki-laki dalam pengertian: apa saja peran utama perempuan dan peran utama laki-laki di dalam keluarga dan di dalam komunitas; bagaimana perempuan dan laki-laki harus berperilaku.

Lalu seberapa penting fitrah seksualitas perlu dibangkitkan?

Kami yakin bahwa kita semua sepakat bahwa menguatkan fitrah seksualitas adalah sangat penting, karena jika fitrah ini tidak dikuatkan sejak kecil, maka dikhawatirkan ke depannya bisa terjadi penyimpangan yang membuat anak mengalami gangguan dalam memahami identitas dirinya, terjadi penyimpangan orientasi seksual, dan masalah terhadap lingkungan sosialnya. 

Tantangan yang dihadapi terkait gender

1. Pemahaman orang tua tentang fitrah seksualitas yang masih rendah

Dan kurang terbentuknya bonding dengan anak. Hal ini bisa menyebabkan peran gender yang harusnya diedukasi sejak dini tidak tersampaikan sehingga membuat missing link pada anak tentang pemahaman dirinya terkait gendernya sendiri. Padahal memahamkan dan memberikan contoh terkait peran gender ini harusnya menjadi tanggung jawab  para orang tua. 

Selain itu para orang tua masih belum terbuka dan malu-malu dalam menyampaikan informasi terkait pendidikan seks pada anak padahal pendidikan seksualitas bukan hanya bicara tentang seks semata tapi juga menyangkut hal lain yang lebih luas misalnya tentang peran gender dan anggota tubuh yang perlu dilindungi dari kejahatan seksual. 

2. Teknologi yang terus berkembang 

Terutama dalam hal arus informasi yang sangat cepat dan banyak. Jika orang tua tidak memberikan bimbingan dan tidak membersamai anak dalam menyaring informasi maka bisa jadi anak menemukan informasi yang salah terkait peran gender. Apalagi sekarang banyak pemikiran sekuler yang keluar jalur dan membuat fitrah seksualitas menjadi abu-abu. 

3. Kurangnya edukasi tentang penguatan peran gender di lingkungan anak

Bukan saja orang tua yang bertanggung jawab tapi juga lingkungan sekolah, tetangga, lingkungan bermain harusnya bisa bersinergi untuk menguatkan peran seksualitas anak. 


Solusinya

Orang tua sebagai sosok terdekat dengan anak harus bisa membangun bonding dengan anak. Jika bonding sudah terbangun maka akan lebih mudah mengajarkan anak untuk belajar tentang peran gendernya. Misalnya tentang bagaimana bersikap layaknya laki-laki dan perempuan. Ayah bisa mengajak anak laki-lakinya sholat jumat atau sholat berjamaah di masjid. Ibu pun mulai mengajarkan anak perempuannya pelan-pelan menggunakan jilbab, aurat, cara bersikap, dsb.

Sejak anak masih kecil, orang tua harus bisa membangun bonding antara orang tua dan anak. Ayah dan ibu harus sama-sama berperan. Ketika kecil, biasanya anak-anak lebih dekat dengan ibu. Nah, alangkah baiknya keterlibatan ayah juga jangan dilupakan. Terutama anak laki-laki harus punya kedekatan dengan ayah karena anak belajar peran jenis kelamin dari ayah mereka. Dengan dekat pada ayahnya, anak laki-laki belajar tentang peran gender laki-laki. Dari ayah, anak bisa  belajar aspek maskulinitas seperti kemampuan berpikir logis, berani, menghadapi tantangan dll. Anak laki-laki pun juga harus dekat dengan ibu terutama ketika anak sudah memasuki usia 10-14 th. Dari ibu anak laki-laki bisa belajar tentang kemampuan  belajar empati, bersikap penyayang, dll. Kemampuan ini sangat diperlukan oleh anak laki-laki ketika ia kelak menjalankan peran dirinya sebagai seorang suami dan seorang ayah. 

Seorang ayah juga harus dekat dengan anak perempuan, karena seperti banyak quote berkata.. Ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya. Terkadang sosok ayah menjadi acuan bagi anak perempuan dalam memiliki pasangan hidupnya. Dan kalau anak perempuan mendapatkan perhatian yang cukup dari ayahnya.. Maka kemungkinan dia tidak akan mudah melakukan perbuatan menyimpang dan mencari-cari perhatian dari laki-laki lain yang kadang bisa berdampak negatif bagi dirinya sendiri. 

Jadi, itulah sebabnya kenapa memperkuat bonding antara orang tua dan anak itu sangat penting. Kedekatan anak dengan orang tua akan menjadi pijakan awal bagi anak dalam mengenali dirinya sendiri dan dalam membangun hubungan dan komunikasi yang baik dengan orang tua mereka hingga mereka dewasa. 

Selain itu orang tua bisa berperan aktif dalam memberikan informasi di media sosial tentang pentingnya membangkitkan fitrah seksualitas pada anak sehingga informasi positif makin tersebar dan makin banyak orang tua yang sadar tentang urgensi menguatkan peran gender pada anak-anak. 

Orang tua juga bisa bekerja sama dengan pihak sekolah untuk mau memberikan pengawasan  dan  penyuluhan  terkait peran gender pada anak didiknya.

Media edukasi

Media edukasi yang bisa dipakai orang bisa berupa cerita dari buku bergambar,  nyanyian, dan video edukasi karena anak-anak cenderung tertarik pada sesuatu yang bersifat visual. 

Sesi tanya jawab

1. Yesi Agustina
Terimakasih, atas sajian materinya kelompok 1. Saya ingin bertanya, bagaimana kriteria khusus untuk pilihan media buku bergambar yang digunakan untuk membangkitkan fitrah seksualitas anak? Adakah referensi yang kelompok 1 rekomendasikan?

Untuk media buku bergambar, saya pernah membacakan buku anak berjudul "Menjadi Anak yang Berani" dari penulis Watiek Ideo. Bukunya sebenarnya fokus pada bagaimana anak berani melindungi dirinya sendiri. Namun, di sana juga dijelaskan beberapa bagian tentang perbedaan gender. Misalnya kalau ke toilet, ada yang namanya toilet laki-laki dan perempuan. Bahwa laki-laki dan perempuan itu berbeda dari cara berpakaian, dsb. Mungkin sebagai salah satu rekomendasi, bisa coba bacakan buku tersebut ke anak.

Salah satu contoh halamannya

2. Marisa Andi Bumbung
Untuk media edukasi bagi anak balita berupa video dan nyanyian, bisakah diberikan link atau referensinya.



Contoh videonya

Ketika sedang bernyanyi lagu ini bersama-sama bisa sekalian dengan gesturenya ya. Jadi anak-anak bisa lebih ingat.

3. Ismi Suryani
Bagaimana jika ayah bekerja diluar kota.  Pulang hanya 1 bulan sekali.  Bagaimana menjalin kedekatan dengan anaknya dalam jarak jauh.  Agar nantinya tidak terjadi penyimpangan, seperti yang dijelaskan diatas?

Mba Ismi, pasti jadi kendala sendiri ya jika anak tidak bertemu langsung setiap hari dengan ayah.. Tapi bukan berarti peran ayah tidak bisa dijalankan. Bagaimana caranya agar sosok ayah tidak "hilang"? Pertama, bisa dengan mengenalkan sosok laki-laki terdekat dalam keluarga. Entah itu kakeknya atau omnya. Jadi ibu bisa bekerjasama dengan sosok tersebut untuk membantu mengenalkan identitas dan sosok laki-laki pada anak-anak.

Yang kedua, kita hidup di teknologi yg berkembang pesat. Ajak ayah setiap hari berkomunikasi lewat teknologi yg ada. Bukankah sekarang ada video call, telepon dsb? Bisa manfaatkan itu untuk Merekatkan hubungan antara ayah dan anak.. Jangan sampai jarak yang jauh menjadi kendala membangun bonding, karena yg selalu dekat pun juga tak menjamin  bisa terbangun bonding. Yang penting selalu ada waktu berkualitas untuk berbincang dengan anak.

Yang ketiga, setiap ayah pulang, ayah harus memaksimalkan waktunya untuk beraktivitas bersama keluarga. Entah liburan, merancang aktivitas bermain, berbincang dsb.

Menambahkan ya Mba Wenti bisa juga dengan  menemani anak bermain mobil-mobilan, robot-robotan, mengajak anak bersosialisasi dengan lingkungan sambil kita jelaskan ada teman laki-laki dan teman perempuan, serta berkomunikasi dengan ayahnya lewat video call dan saling bercerita.

Oh iya, satu lagi ya..  Berdoa..  Percayalah bahwa doa orang tua itu diijabah Allah. Jadi ayah bunda jangan lupa mendoakan anak-anak, terutama jika ayah sedang jauh dari keluarga. Mudah-mudahan doa tersebut juga yang ikut membantu anak senantiasa terjaga fitrahnya.

4. Yani Indriati
Izin bertanya, bagimana untuk anak yang sudah tidak memiliki Ayah/Ibu sejak kecil? Apa yang harus dilakukan sekitarnya? Atau bahkan si anak ketika sudah dewasa? Karena bisa jadi tanpa sadar kebutuhannya anak bonding dengan orang tua sangat kurang.

Sudah dibahas sedikit di no 2, bisa dikenalkan dengan keluarga terdekat, seperti paman/kakek/nenek/bibinya. supaya anak tidak kehilangan sosok "ayah" dan "ibu" yang penting dalam perkembangannya.

Penutup

Wahai Ayah, tuntunlah anakmu untuk memahami peran sosialnya, bangkitkan rasa percaya dirinya, sehingga kelak mereka siap menjadi imam bagi keluarganya.

Wahai Bunda, jadilah wanita terhebat pertama yang dikenang anak perempuanmu dalam peran seksualitas keperempuanannya.

“Jangan pernah berhenti untuk terus mencari ilmu agar siap menghadapi berbagai tantangan yang muncul terkait fitrah seksualitas pada anak di masa mendatang”.

Pertanyaan saya

1. Tadi siang kami keluar terus Neta mau pipis. Toilet perempuannya sedang ada orang. Karena Neta kalau bilang mau pipis berarti sudah kebelet, akhirnya saya masuk ke toilet laki-laki, cuma sign-nya saja. Toiletnya sama toilet duduk dan hanya 1 toilet untuk 1 gender jadi tidak ada orang lain. Neta padahal sudah bilang itu buat laki-laki tapi karena saya takut Neta mengompol jadi saya masuk juga ke situ. Salah kah?

Kalau kondisi sudah darurat, menurut saya tidak apa-apa Mbak. Tinggal disampaikan saja ke Neta alasannya kenapa pipisnya terpaksa ke toilet laki2. 

Yang jelas, apresiasi untuk Neta sih karena dia ternyata sudah paham bahwa harusnya perempuan tidak pipis di toilet laki-laki. Berarti secara kebiasaan, mbak Nika sudah mengajarkan dengan benar.. Artinya, cuma sekali itu saja kejadian seperti itu kan ya? Kecuali kalau sudaj terlalu sering, mungkin lama-lama bisa bikin anak bingung. 

Yang jelas, Neta sudah tahu kalau seharusnya sebagai perempuan pipisnya di toilet perempuan. Jadi dia sudah sedikit banyak paham tentang perbedaan gender. Dan menurut saya itu sudah bagus.

2. Sama tentang tahapan usia ini mba. Kalau misal ada yang terlewat bagaimana ya?

Soal tahapan ini kami berpatokan pada pemaparan Pak Harry Santosa. Dan dari yang pernah saya baca, jika ada tahap yang terlewat, maka perlu diulang kembali tahapannya. Meski mungkin akan membutuhkan effort yang lebih besar dibandingkan kita memulai tahapan itu dari sejak kecil.

Kesimpulan

Peran orang tua memang sangat penting dalam menguatkan fitrah seksualitas anak. Peran orang tualah yang menjadikan anak-anak nanti ayah dan ibu yang baik, serta pasangan suami istri yang saling pengertian dan menyayangi. 

Dengan presentasi kelompok 1 ini juga, menjadikan saya ingin berdiskusi lebih dalam dengan suami, utamanya untuk peran ayah dan ibu, serta tahapan usia fitrah seksualitas. Tak jarang saya lebih bersifat tega dan suami lebih bersifat penyayang. Saya juga merasa melewatkan tahapan 0-2 tahun anak pertama karena kala itu saya masih bekerja di ranah publik. Semoga dapat memperbaiki keluarga kecil kami dengan adanya diskusi materi kelompok 1 ini. Terima kasih ya teman-teman. :)

#Tantangan10Hari
#Level11
#KuliahBunsayIIP
#LearningByTeaching
#FitrahSeksualitas

No comments:

Post a Comment