Saturday, December 30, 2017

Bunsay Leader #3: Jurnal Belajar Level 2

Aha! Point dan Hikmah Materi Melatih Kemandirian Anak

Ketika pertama kali mendapatkan materi "Melatih Kemandirian Anak", merasa 'wow' sekali karena hal ini memang sedang menjadi struggle dalam keluarga kecil saya. Adanya perbedaan pandangan antara saya dan suami mengenai kemandirian ini sempat menjadikan saya bingung, apakah yang saya lakukan untuk anak-anak benar atau tidak. Mengapa? Karena saya memiliki pandangan untuk sebisa mungkin memandirikan anak sedangkan suami memiliki pandangan untuk lebih menunjukkan 'kasih sayang' terhadap anak.

Contoh sederhananya adalah tentang menyuapi anak. Saya sedang berusaha agar anak pertama saya (Neta, ketika itu berusia 4 th) dapat makan sendiri dengan lancar. Waktu awal-awal berlatih, saya menyendokkan makanan kemudian Neta akan memasukkan sendiri makanan ke dalam mulutnya. Tetapi ketika papinya ada di rumah, Neta akan kembali disuapi. Alasannya karena Neta makannya lama. Duh, sempat kesal juga (hehe..). Tapi saya mencoba mengerti apa yang dilakukan suami adalah berdasarkan FoR (Frame of Reference) dan FoE (Frame of Experience) yang berbeda dengan saya. Lalu saya berusaha untuk menjelaskan kepada suami bahwa:
"Melatih kemandirian bukan berarti orang tua 'tega' atau tidak menyayangi anaknya, melainkan adalah salah satu bentuk kasih sayang orang tua untuk mempersiapkan anaknya menghadapi masa depan"
Alhamdulillah suami sedikit demi sedikit mengerti dan menjalankan apa yang saya minta, agar selaras dan konsisten dengan apa yang saya lakukan sehari-hari di rumah :)

Kemandirian Usia 15th ke Atas

Ketika membaca cemilan ini lebih ter-'wow' lagi.. Jadi ingat ketika awal-awal menikah dulu. Padahal saat itu usia saya sudah hampir 25 tahun, tetapi persiapan dalam membina rumah tangga sangat minim. Contohnya kala itu saya belum bisa memasak. Alhamdulillah dapat belajar sedikit demi sedikit, learning by doing, dan suami tetap mendukung dengan memakan setiap hasil masakan saya hehe.. Sampai akhirnya kegiatan memasak menjadi salah satu hal yang saya sukai.

Belum lagi ketika baru melahirkan anak pertama.. Kala itu saya tidak mengerti cara menyusui, merawat bayi dan diri setelah melahirkan, bahkan menggendong bayi pun masih kaku. Lalu akhirnya learning by doing juga.. Beryukur saat ini banyak ilmu parenting yang mudah diakses. Menjadikan saya dapat belajar dan ketika anak kedua lahir pun sudah lebih mengetahui ilmunya.

Pengalaman saya ini menjadi pelajaran untuk memberikan bekal kepada kedua putri saya kelak agar lebih mempersiapkan diri dalam membina pernikahan, sebagai seorang istri dan ibu. Jauh sebelum usia pernikahan, seperti yang tertera di sini, yaitu usia 15 tahun.

Konsistensi

Yup! Satu kata berjuta aksi. Saya akui saya masih suka membereskan mainan anak saya. Atau ketika Neta minta bergabung melakukan suatu pekerjaan yang sedang saya kerjakan, saya maunya saya saja yang mengerjakan. Supaya lebih cepat begitu.. Padahal hal tersebut mematikan fitrah anak untuk belajar mandiri ya..

Menjadi azzam dalam diri untuk lebih konsisten. Mematuhi peraturan yang sudah dibuat bersama. Setelah bermain satu mainan, yuk bereskan terlebih dahulu baru main mainan yang lain. Ikut bermain dan membereskan mainannya, bukan sebagai pemain utama melainkan sebagai teladan bagi anak. Memotivasi anak agar melakukan hal yang dapat ia lakukan. Berikan kesempatan, mami. Jangan maunya cepat-cepat selesai saja! (Siaaaaap..)
"Saya percaya, anak-anak yang dipercaya dapat melakukan sesuatu, mereka akan benar mampu melakukannya jika diberikan kesempatan"

Friday, December 29, 2017

Changing Guilty Feelings into Positive Action

Jumat Hangat 
Kelas Bunda Sayang Batch 1 Tangerang 

29 Desember 2017 Pukul 14.00-15.00

By Nika Yunitri

Tema:
Changing Guilty Feelings into Positive Action
(Mengubah Perasaan Bersalah menjadi Aksi Positif)

Cerita ini bermulai ketika saya melahirkan anak pertama, dan berubahlah status saya menjadi seorang ibu. Apakah yang saya rasakan ketika itu? Senang sudah pasti. Terharu, melihat ada makhluk mungil nan elok lahir ke dunia dan dinobatkan sebagai 'anakku'. Selain itu? Jujur saja saya bingung. Menyusui saja belum bisa, menggendong masih kaku, sering menangis karena kurang tidur, dan banyak perasaan2 lainnya yang bercampur aduk menjadi satu. Baru diketahui setelah beberapa waktu bahwa hal yang dirasakan tsb adalah sindrom baby blues.

Alhamdulillah 2 bulan berjalan.. Saya sudah bisa kembali hidup relatif 'normal' dengan kehadiran seorang bayi. Menyusui dan memompa asi sudah handal 👍🏻 Menggendong, mengganti popok, dan beraktivitas sehari-hari bersama bayi di rumah sudah sigap 👍🏻 Tidur sudah mulai cukup karena jam tidur bayi pun dapat dikatakan teratur 👍🏻 Tetapi satu bulan lagi, mami harus kembali bekerja di ranah publik, Nak.

Selama bekerja di ranah publik, alhamdulillah sedikit demi sedikit dapat me-manage waktu untuk berperan sebagai ibu, istri, dan karyawan. Suami pun sangat mendukung dan membantu. Kala itu support system juga memadai. Sejak umur 3 bulan sampai hampir 3 tahun, Neta diasuh oleh kakek-neneknya jika saya sedang bekerja. Lalu lanjut masuk daycare. Sampai akhirnya.. Sekarang Neta diasuh oleh maminya sendiri karena maminya di-PHK dari perusahaan tempatnya bekerja 🤭

Lalu bagaimanakah perjalanan saya dari ibu yang bekerja di ranah publik yang kemudian 'terpaksa' menjadi ibu rumah tangga? Kisahnya ada di sini.

Tetapi setelah 'berhasil' menyebut diri sebagai ibu rumah tangga bahagia, masih ada satu perasaan yang mengganjal dan belum terselesaikan. Apakah itu? Yup, Guilty Feelings (Perasaan Bersalah).

Jujur saya akui, ketika saya bekerja di ranah publik, tidak jarang ketika saya pulang ke rumah, hanya tersisa sedikit energi untuk membersamai Neta. Sering saya, si pelor & kebluk ini, tidur terlebih dahulu daripada Neta dan kemudian Neta akan diasuh papinya sampai tertidur. Rupanya kebiasaan ini berlanjut, Neta jadi lebih dekat dengan papinya, apa-apa maunya sama papi. Kalau papi pergi, Neta nangis. Kalau saya yang pergi biasa saja. Kalau papinya peluk & cium Neta, dia mau. Kalau maminya yang minta, dia tidak mau. Dan yang paling menyakitkan adalah ketika saya bertanya: Neta sayang papi? Dia jawab iya. Neta sayang mami? Dia jawab ga. 🔪🔪🔪🔪🔪🔪🔪🔪 Makjleb. Sakitnya tuh di sini 😭

Ini bahkan terjadi setelah saya ada di rumah alias sudah beberapa waktu menjadi ibu rumah tangga.

Lalu saya berpikir dan berpikir.. Merenung dan merenung.. Bagaimana menyelesaikan tantangan ini. Perasaan bersalah karena dulu tidak berada sepenuhnya di sisi Neta, adakah cara untuk memperbaikinya sekarang? Alhamdulillah.. Ada jalannya bunda ❤ Berikut saya kupas satu persatu jalannya..

1. Mengakui kesalahan
Saya mengakui kesalahan saya semasa dulu. Saya bercerita kepada suami, meminta maaf kepadanya, meminta maaf juga kepada Neta. Alhamdulillah suami tidak men-judge saya.. Neta juga memaafkan saya insya Allah.. Mengakui kesalahan bukan untuk bersedih, tetapi untuk mencegah mengulanginya lagi.

2. Menerima diri sendiri
Selain meminta maaf kepada suami dan anak, maafkanlah juga diri sendiri.. Ini adanya saya dan sifat saya, kesalahan saya. Mari berubah untuk memperbaiki.

3. Berniat menjadi ibu yang lebih baik lagi setiap harinya
Seorang ibu adalah seorang manusia yang ada kelebihan dan kekurangan. Bisa berbuat hal yang benar dan yang salah. It's ok moms.. Because motherhood is journey.. Yang diazzamkan di dalam hati adalah lakukan terus yang baik. Apabila melakukan kesalahan, sadari, dan kemudian perbaiki. Jangan berlama-lama dalam kubangan 'saya bersalah', ' saya bukan ibu yang baik', dan kalimat2 sejenis.

4. Lakukan yang bisa dilakukan, fokus pada kelebihan diri
Ada quotes yang sangat bagus tentang motherhood:
There is no way to be a perfect mother and a million ways to be a good one ~Jill Churchill
Quotes yg dapat menyemangati saya di kala down. Dari satu kesalahan yang kita buat sebagai ibu, insya Allah ada beberapa kebaikan lain yang telah kita lakukan sebagai ibu. Saya meyakininya dan menjadikannya penyemangat. Saya tidak sempurna, tapi saya tetap berusaha melakukan hal-hal yang baik untuk anak-anak.

5. Tetap belajar
Saat ini banyak sekali referensi-referensi ilmu parenting. Saya pun senang membaca kemudian mencatat ilmu yang sekiranya sesuai bagi keluarga untuk dipraktikkan. Ini adalah salah satu cara untuk 'upgrade' diri kita sebagai ibu.

6. Manajemen emosi
Saya akui saya pun masih terus belajar untuk hal yang satu ini. Saat saya emosi kepada anak, yang saya ingat adalah bahwa anak belum 100% sempurna perkembangannya. Kita saja yang sudah dewasa masih melakukan kesalahan. Anak melakukan kesalahan adalah hal wajar karena masih belajar. Cara menanggulangi emosi yang efektif bagi saya adalah:
- Diam (tarik nafas bun)
- Lakukan hal yang disuka (misalnya saya suka makan)
- Berbagi pada suami, bilang perlu pertolongan jika lelah, bila suami ada di rumah. Jika tidak ada di rumah, saya merasa cukup dengan meneleponnya hehe..
Kenali kapan dan mengapa saat kita emosi, dan kenali pula cara mengatasinya ❤

7. Last but not least.. Berdoa kepada Allah
Mohon dilembutkan hati saya & anak-anak.. Agar saya dapat menyayangi anak-anak dengan ikhlas, anak-anak pun dapat menerima & menyayangi maminya ini.. Saya pun berdoa agar saya ridho kepada anak-anak saya, sehingga Allah pun ridho kepada mereka, dan mereka pun mengingat saya sebagai ibunya karena Allah..

Alhamdulillah demikianlah sharing saya tentang mengatasi perasaan bersalah. Alhamdulillah juga sekarang Neta sudah dekat sama mami. Kalau mami pergi, Neta mau ikut. Mau juga dipeluk dan dicium sama mami. Bilang sayang juga sama mami.. Sesuatu yg priceless bisa mengalaminya.. Alhamdulillah wasyukurilah 💞

Terima kasih bunda2 yang mau baca curhatan saya yang panjang ini. Semoga bermanfaat 😊
_________________________________________________________________________________

Tulisan ini dibuat untuk mengisi Jumat Hangat di kelas Bunsay batch 1 Tangerang, sekalian untuk setor One Week One Post (OWOP) dengan tema seputar "Ibu".

#JumatHangat
#KuliahBunsayIIP

Saturday, December 23, 2017

Baper (Bawa Perasaan, Carrying Feelings)

Baper atau bawa-bawa perasaan, sebuah istilah kekinian lainnya yang sering terlihat di sosial media, dan sering dirasakan oleh kalangan ibu-ibu. Ada yang posting makanan, dibilangnya untuk apa, kan ga bagi-bagi. Posting jalan-jalan, dibilangnya pamer. Posting kebaikan suami, dibilangnya hati-hati nanti ada perempuan yang minta dipoligami lho, Bun. Posting tentang anak, kasihan yang belum punya buah hati, Mba. Dan sederet comment-comment lainnya. Susah ya, terus bolehnya posting apa dong? Hehe..

Itulah sulitnya jadi ibu zaman sekarang ya.. sudah terlanjur terbiasa mem-posting segala hal di sosial media (eh saya aja kali yaa..), maka harus siap juga di-comment apa pun oleh pembaca sosmed kita. Awalnya memang ada masa-masa dimana setiap kegiatan langsung di-posting di sosmed lalu lama-lama berpikir untuk apa dan siapa sih? Haruskah semua hal difoto dan di-upload? Lalu muncul rasa tidak ingin posting-posting lagi karena merasa bosan. Tetapi sekarang, lebih memilih mana yang bisa di-posting, mana yang tidak perlu. Apa yang sekarang sering di-posting? Hal-hal yang sekiranya dapat menginspirasi kebaikan terhadap pembacanya. Jadi bila ada yang comment baper pun, perasaan yang dibawa adalah perasaan positif :)

Selain di sosmed seperti di FB dan IG, baper juga dapat tercipta ketika chatting via WA. Apalagi ikut komunitas dan berbagai macam grup yang bersentuhan dengan orang banyak. Ada kalanya ketika menulis sesuatu di grup, ada kekhawatiran bila tidak ada yang membalas, atau balasannya seperti kalimat yang tidak menyukai tulisan kita ataupun tidak setuju dengan pendapat yang kita sampaikan. Ada masa di awal-awal ikut komunitas dan banyak grup, berpikir seperti ini: 'Kenapa sih dia begitu? Kenapa balasannya seperti itu? Kenapa ga begini saja... ". Lama-lama capek juga ya berpikir seperti itu. Stop controlling what we can't control. Berhentilah mengendalikan hal yang tidak bisa dikendalikan. Orang lain mau menulis, membalas, merespon, atau berbicara apapun bukanlah sesuatu yang bisa kita kendalikan bukan? Yang bisa kita kendalikan adalah respon diri kita sendiri terhadap suatu hal, seperti bagaimana kita menghadapi pembicaraan orang lain, apakah dibalas atau tidak dibalas, dibalas dengan emosi atau dengan komunikasi produktif. The choice is yours..

Akhirnya setelah belajar dari pengalaman berkomunikasi via WA: ada hal yang penting untuk ditanggapi dengan serius, ada hal yang bisa ditanggapi dengan candaan, ada juga hal yang tidak perlu ditanggapi. Kebijaksanaan juga berarti dapat menempatkan diri, mana yang perlu dibalas ataupun tidak. Ada juga yang sesuai dengan prinsip silence is gold, tapi ada juga yang apabila kita diam malah menambah runyam suasana. Kedewasaan dalam berkomunikasi lah, serta etika komunikasi yang perlu terlus dilatih agar tidak menimbulkan kebaperan dalam diri. Hihihi.. Yuk ah dilatih lagi komunikasi produktifnya, dan tentunya berpikir positif atas tulisan seseorang. Memang sulit, saya pun masih belajar. Menuliskan ini bukan berarti saya sudah tidak baper, tetapi justru mengingatkan diri sendiri agar tidak mudah baper hehehe.. Semangat, Bundas :*

Tuesday, December 12, 2017

Judging Between Mothers (Menghakimi Antar Sesama Ibu)

Mom's war. Siapa yang tak lekat dengan istilah tersebut, apalagi setelah menjadi seorang ibu? Ditambah lagi dengan kehadiran sosial media di zaman sekarang ini (zaman now istilah kekiniannya). Dimana setiap orang, termasuk seorang ibu, dapat menulis apa saja, berkata apa saja, mem-posting apa saja sesuai keinginan.

Dulu ketika saya masih bekerja di ranah publik, masih teringat jelas sebuah meme tentang percakapan antara ibu rumah tangga berpendidikan S1, dengan ibu bekerja yang menitipkan anaknya kepada pembantu yang notabene kebanyakan hanya lulusan SD. Atau sebuah gambar "lucu" tentang seorang nenek yang terpaksa mengasuh cucu-cucunya karena anak atau menantu perempuannya bekerja di luar rumah. Atau penggalan cuitan seorang ustadz tentang status ibu yang bekerja di luar rumah, dapat dikatakan seorang ibu atau seorang karyawan. Karena waktu di luar rumah lebih lama daripada ketika di dalam rumah. Oh, betapa hati ini begitu sakit melihatnya berseliweran di timeline pribadi.

Sekarang setelah menjadi ibu rumah tangga pun, masih ada perasaan bertanya mengapa seseorang begitu memedulikan pilihan orang lain dalam menjalani hidupnya? Seorang ibu rumah tangga, begitu mulianya karena mendedikasikan dirinya untuk anak-anak dan suami. Tak jarang melupakan kepentingan dan mimpi-mimpi pribadinya demi keluarga. Dua puluh empat jam sehari berkutat dengan pekerjaan itu-itu saja yang seakan-akan tak pernah selesai, meladeni berbagai macam tingkah polah anak yang tak jarang menguji kesabaran, lalu tak lupa melayani suami di sisa-sisa tenaganya. Seorang ibu yang bekerja di ranah publik, berjibaku dengan manajemen waktu agar kebutuhan keluarga dan tuntutan pekerjaan kantor dapat terpenuhi, merelakan sebagian penghasilannya untuk membantu perekonomian keluarga, menjadi wanita mandiri yang bersiap-siap jika sewaktu-waktu suami tercinta dipanggil Yang Maha Kuasa terlebih dahulu. Adakah yang salah di antara keduanya?

Belum lagi dengan perbedaan metode pengasuhan. Contoh sederhananya saja menyusui atau susu formula, menyuapi atau BLW (baby led weaning), gendong samping atau gendong M-shape, dan lain sebagainya.

Memiliki pengalaman di-judge karena terlihat jarang menyuapi anak, membuat diri ini pun bertanya-tanya. Seberat inikah tugas seorang ibu? Selain harus fokus mengurus keluarga, juga mendengarkan celotehan orang lain tentang cara-cara pengasuhan yang dipilih untuk anak-anak saya sendiri? Sungguh melelahkan hanya dengan memikirkannya saja..

Menyuapi anak adalah salah satu bentuk kasih sayang ibu kepada anaknya. Dengan menyuapi, hubungan antara anak dan orang yang menyuapinya akan terasa hangat, dekat, dan menyenangkan. Tetapi ada nilai (value) yang berbeda pada tiap keluarga, misalnya value kemandirian. Saya percaya, anak-anak yang dipercaya bisa melakukan sesuatu, misalnya makan sendiri, mereka benar mampu melakukannya jika diberikan kesempatan belajar makan sendiri. Selain itu, ada adab makan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, yaitu makanlah sambil duduk, bukan sambil jalan-jalan keluar rumah naik sepeda sore-sore misalnya (hehehe.. ketawa dulu lah biar ga tegang).

Yang ingin saya sampaikan setelah berpanjang-panjang menulis adalah.. Come on, Moms.. Tanpa mom's war pun pekerjaan kita sebagai ibu sudahlah banyak.. Kembali mengurus keluarga masing-masing saja, pilih apa yang terbaik untuk keluarga masing-masing, bukan mengurusi pilihan ibu keluarga lain.. Dan yang terpenting, pastikan apapun pilihan para moms, anak-anak senang menjalani prosesnya, tidak meninggalkan trauma, melainkan meninggalkan momen indah yang akan dikenang saat mereka dewasa nanti.

Peace, Moms! We need it more, to keep our insanity, to be happy when raising our kids, and last but not least to be happy as mom yourself. Hugs and kisses for all of mothers including you :* Thanks for reading my post! :D

(Mari berdamai, Mama! Kita memerlukannya lebih, untuk menjaga kewarasan kita, agar bahagia saat membesarkan anak-anak kita, dan yang terpenting untuk berbahagia menjadi seorang ibu. Peluk dan cium untuk semua ibu, termasuk kamu :* Terima kasih telah membaca tulisanku! :D)

Aliran Rasa Temukan Matematika di Sekitarmu


#gamelevel6
#matharoundus
#kelasbundasayangtangsel
#institutibuprofesional

Wednesday, December 6, 2017

Tantangan TfFMB5: Mengapa Saya Harus Menjadi Fasilitator?

Wow, menjadi fasilitator matrikulasi di batch 5 ini lebih banyak tantangannya bila dibandingkan saat batch 4 yang lalu. Nara sumber materi berasal dari peserta, notulensi tidak hanya bergantung pada satu sekretaris, adanya evaluasi tiap materi, dan kali ini menuliskan tentang mengapa harus menjadi fasilitator. Keren banget!

Sebenarnya apa itu fasilitator? Orang yang memfasilitasi satu orang atau beberapa orang dalam kelas untuk belajar bersama. Apa fungsi fasilitasi? Setiap orang yang ada di dalam kelas belajar secara mandiri, menemukan tantangan, dan solusinya sendiri. Fasilitator ada hanya untuk mendampingi proses belajar mandiri tersebut, bahkan tidak jarang ikut belajar dan menemukan hal baru. Belajar saat matrikulasi ini bukanlah ada seorang guru sendirian di depan kelas lalu yang lain hanya mendengar dan mencatat. Peserta dan fasilitator berdiskusi bersama, bahkan fasilitator banyak mendengar dan memberikan ruang kepada peserta untuk berkembang sendiri. Setiap pertanyaan yang muncul, tidak semua langsung dijawab oleh fasilitator, melainkan melalui proses bertanya kepada si penanya kembali. Karena sejatinya demikianlah proses belajar orang dewasa, atau sekarang menjadi familiar dengan istilah heutagogi setelah mengikuti TfFMB5 ini.

Melihat kesiapan diri di matrikulasi kali ini, alhamdulillah merasa lebih siap. Karena dengan metode evaluasi setiap materi, menjadi seperti ada kewajiban untuk membaca materi, menyimak diskusi chat, atau paling tidak membaca resume jika tertinggal materi. Selain itu, pengalaman saat batch 4 lalu juga menjadikan diri ini lebih mengetahui tantangan apa saja yang kira-kira ditemui selama menjadi fasilitator, meskipun tetap ada kemungkinan di matrikulasi yang baru akan menemukan tantangan baru. Mengikuti kelas matrikulasi koordinator tambahan juga menguatkan basis fasilitator sebagai bagian dari komunitas. Jadi lebih mengetahui langkah-langkah apa saja yang dapat dilakukan untuk menyikapi setiap tantangan yang hadir, baik sebagai fasilitator maupun pengurus. Salut untuk tim matrikulasi batch 5, terutama mba Yani dan mba Vita :)

Menurut saya, fasilitator adalah posisi yang sangat penting dalam komunitas IIP. Apalagi fasilitator matrikulasi. Karena fasilitator matrikulasi-lah garda terdepan dalam kaderisasi member IIP, dimana para pendaftar baru akan belajar dan mendapatkan pengalaman yang "wow" selama mengikuti matrikulasi. Pada saat saya mengikuti matrikulasi batch 3 pun, perasaan hormat saya kepada Mba Adit dan Mba Fitri sebagai fasil saya waktu itu pun masih saya pelihara sampai sekarang. Karena dari mereka, saya menjadi tahu lebih dalam tentang IIP dan yang terpenting memfasilitasi saya dalam menemukan diri sendiri, menjadi wanita, istri, dan ibu yang lebih baik. Dapat me-manage waktu dengan baik dan bermanfaat bagi sesama. Setelah selesai menjadi fasilitator Sumatera Utara di matrikulasi batch 4 kemarin dan kemudian berada satu grup di TfFMB5 dengan mba Novita (peserta yang saya fasili), ada kebanggaan tersendiri bahwa alhamdulillah ada penerus yang menjadi fasilitator di Sumut dan berasal dari wilayah sendiri, yang kala itu memang tidak ada sama sekali sehingga harus import dari Tangsel hehe.. Demikianlah pandangan saya tentang pentingnya seorang fasil :)

Lalu rencana dan strategi apa yang akan saya lakukan dalam memfasilitasi kelas? Tidak jauh berbeda dengan matrikulasi batch 4 lalu. Hadir sepenuhnya pada kesepakatan jam online, disiplin, dan tepat waktu. Mengetahui kapan saat serius belajar dan diskusi, tapi tidak melupakan kehangatan dalam berkomunikasi dengan para peserta. Mengobrol, bercanda, melakukan pendekatan pribadi (japri) adalah hal yang wajar dilakukan fasil dalam kelas selama pada waktu yang sesuai. Berusaha tertib administrasi, dicicil tiap minggunya agar tidak menumpuk di akhir matrikulasi. Mengikuti arahan yang ada di grup fasil. Peduli kepada peserta, leader matrikulasi, dan fasil-fasil lainnya.

Meskipun demikian, tetap ada kekhawatiran menjadi fasilitator yaitu manajemen emosi, supaya tidak mudah baper. Manajemen waktu, dalam hal ini manajemen gadget, karena sudah mendapat beberapa kali teguran dari suami (lampu kuning ini). Semoga di kelas matriks batch 5 nanti, dapat mengelola emosi dengan lebih baik lagi (ada rem bapernya) dan dapat memaksimalkan waktu online, apalagi dengan rentetan tugas lain di kepengurusan kota. Tetapi dibalik kekhawatiran itu semua, saya sendirilah yang memilih untuk mau menjadi fasil dan pengurus. Jadi hal ini saya jadikan tantangan agar tetap mengurus keluarga dengan baik (bersungguh-sungguh di dalam) dan bermanfaat bagi komunitas (keluar dengan kesungguhan itu). Sebagai sarana pay it forward setelah saya merasakan banyaknya manfaat yang saya dapat setelah mengikuti matrikulasi dan menjadi bagian dari IIP.

Proses adaptasi di kelas TfFMB5 alhamdulillah berjalan lancar. Sedikit demi sedikit mengenal lebih dekat lagi teman-teman baru yang akan menjadi keluarga selama kurang lebih 4 bulan ke depan. Meskipun saya termasuk orang yang tidak terlalu sering menyapa dan mengeluarkan emoticon yang lucu-lucu, tetapi saat saya sedang fokus pada grup TfFMB5, saya selalu berusaha mengikuti diskusi yang ada, mengikuti materi, dan bertanya. Terkadang malah kebanyakan nanya dan komen di jam-jam aneh alias jam malam hehehe.. Alhamdulillah juga bisa berkontribusi sebagai notulis di materi Framework HE meskipun saat membuat notulensinya bingung juga karena diskusi yng hangat, meriah, dan ramai. Akhirnya dibuat yang sederhana dan inti-intinya (terlalu simpel malah, maafkaaan), agar yang membaca dapat mengambil intinya dan tidak terkena tsunami materi hehehe..

Sekian essay ini saya buat, semoga tepat dalam menjelaskan poin-poin yang diminta. Aamiin :)

Game Level 6: Temukan Matematika di Sekitarmu (Day 14)

Hari ini kegiatan matematika kami berlangsung di dapur, yaitu membuat nutrijel blueberry :9 Neta hampir mengerjakan semuanya. Menggunting bungkusnya, menuang bubuk nutrijel ke dalam panci. Menakar 1 gelas gula dan menaruhnya juga di dalam panci. Mengambil 4 gelas air dan menuangkannya ke dalam panci. Mengaduk di atas kompor. Menuang agar-agar ke dalam cetakannya sambil berhitung ada berapa jumlah cetakannya, dan berapa sendok agar-agar yang dimasukkan ke dalam cetakan. Keren Neta! Dia pun senang bisa masak agar-agar kesukaannya sendiri :D Kalau Nara baru sebatas memperhatikan saja hehe.. Tidak apa-apa, beberapa saat lagi juga Nara pasti bisa ikut kegiatan memasak yaa :*

Memasak agar-agar sendiri

#Tantangan10Hari
#Level6
#KuliahBunsayIIP
#ILoveMath
#MathAroundUs

Tuesday, December 5, 2017

Game Level 6: Temukan Matematika di Sekitarmu (Day 13)

Hari ini Neta alhamdulillah sudah bisa bersekolah. Tetapi kegiatan matematika kami hari ini masih bebas, tidak direncanakan hehe.. Neta sudah bisa panjat-panjat teralis jendela di kamar, mengajak adiknya juga untuk melakukan hal yang sama. Mami biarkan saja karena di bawahnya ada kasur yang siap menampung bila terjatuh :) Akhirnya supaya ada kegiatan matematikanya, mami minta Neta menghitung jumlah titian teralis jendela yang dia panjat. Awalnya dia menghitung cepat, tidak sambil memanjat, Neta bilang ada delapan. Lalu dia panjat lagi teralisnya, hitung satu persatu, ternyata jumlahnya sembilan. Yup benar, kakak Neta! :D

Lalu mami jadi ingat tentang kegiatan matematika saat makan. Neta makan sendirinya masih perlu ditemani nih, disendokkan, lalu dipanggil setiap suapannya. Pegal juga sih mami, tapi tidak apa deh.. Supaya belajar makan sendiri juga, daripada terus disuapi. Nah, biasanya antara Neta dengan mami/papi suka ada negosiasi terkait berapa sendok lagi Neta makan. Misalnya tadi tiga sendok lagi. Ayo Neta, tiga sendok lagi nih. Lalu dia pun makan. Setelah itu mami sendokkan lagi nasi dan lauknya. Tinggal dua lagi nih Neta, begitu terus sampai habis. Demikianlah kegiatan matematika kami di hari ini :D

Udah bisa manjat dia

#Tantangan10Hari
#Level6
#KuliahBunsayIIP
#ILoveMath
#MathAroundUs

Monday, December 4, 2017

Game Level 6: Temukan Matematika di Sekitarmu (Day 12)

Hari ini Neta masih belum sekolah, tapi alhamdullilah sudah mau bermain sambil belajar di rumah. Mami belum siapkan kegiatan matematika untuk hari ini, tetapi Neta sudah berinisiatif sendiri mengambil barang-barang berbentuk bulat lalu pretend play sedang membuat kue untuk papi. Barang-barang berbentuk lingkaran yang ia ambil yaitu wadah berbentuk biskuit oreo, selotip, dan bentuk bulat yang tempo hari mami buat dari kardus. Suka merasa amazing melihat ide anak-anak bermain ya :)

Selain itu, hari ini mami juga mengajarkan life skill kepada Neta, yaitu cebok sendiri setelah BAB. Awalnya Neta mengeluh tangannya tidak sampai. Mami pun terus menyemangati Neta, bilang bahwa Neta pasti bisa. Caranya tangan kanan memegang selang dan tangan kiri untuk cebok. Dan Neta pun bisa, yeayyy! Selesai cebok, mami mengajarkan Neta untuk menyiram toilet minimal dengan 6 gayung air. Neta pun menyiram toilet sambil mami hitung tiap gayung yang dimasukkan. Mathematics in toilet, hahahaha..

#Tantangan10Hari
#Level6
#KuliahBunsayIIP
#ILoveMath
#MathAroundUs

Sunday, December 3, 2017

Game Level 6: Temukan Matematika di Sekitarmu (Day 11)

Hari ini kegiatan matematika kami adalah berbelanja bulanan. Neta dan Nara membantu memasukkan barang-barang yang akan dibeli ke keranjang. Neta menghitung beberapa barang yang sudah diambil, Nara pun berebutan memasukkan ke keranjang dan mau ikut memegangnya hehe.. Setelah itu anak-anak belajar mengantri di kasir. Sebelum pulang, Neta pergi bersama papi ke ATM, melihat papi bertransaksi di sana dan ikut pencet-pencet tombolnya juga. Benar sekali, matematika memang ada di sekitar kita :)

#Tantangan10Hari
#Level6
#KuliahBunsayIIP
#ILoveMath
#MathAroundUs

NHW#11 Matrikulasi Koordinator Tambahan: Andaikata Aku Menjadi Sekretaris IIP-Tangsel

Struktur Organisasi:



Setelah membaca jobdesk sekretaris yang ternyata mengemban amanah yang cukup berat, bukan hanya sekedar surat-menyurat dan database, melainkan salah satu penggerak roda organisasi, membuat saya kembali berpikir. Apa yang bisa saya berikan kepada komunitas ini, perubahan dan perbaikan apa saja yang harus saya lakukan? Sungguhlah tidak mudah, tetapi saya mencoba menuliskan hal-hal apa saja yang terpikirkan, yang baik untuk IIP Tangsel ke depannya, yaitu:


  1. Bersama dengan Manager Keuangan, menjadikan IIP Tangsel mandiri secara finansial, dengan cara yang produktif. Yaitu dengan membuka unit-unit usaha yang berhubungan dengan kelas belajar yang ada. Misal produktif melalui produk-produk kejar jahit (seperti pakaian, handicraft), kejar berkebun (seperti benih, bibit, hasil buah/sayur), kejar playdate (Rumah Ibu Kreatif), dan kejar lainnya. Bisa juga membuka unit usaha toko buku dan percetakan serta unit usaha lainnya. Oleh karena itu, kebermanfaatan kas juga perlu dirumuskan. Untuk modal unit usaha, untuk pengembangan sumber daya manusianya, untuk event, untuk simpanan, dll.
  2. Tetap menjadi komunitas para ibu yang hangat dan kekeluargaan. Bisa dengan cara mengolah data domisili member menjadi per wilayah yang dekat, misal daerah Bintaro, Serpong, Pamulang, Ciputat, dll, lalu diadakan kopdar yang bersifat hangat, bisa main ke rumah masing-masing atau berwisata bersama ke tempat yang dekat, atau sekedar ngebakso dan ngerujak :)
  3. Tetap sebagai support group para ibu. Jika ada yang melahirkan atau sakit, ada tim perwakilan dari member domisili dekat untuk berkunjung atau menengok. Dan di WAGM ada jam khusus untuk curhat (hehehe.. aneh ga sih ini), setidaknya ada wadah untuk ribuan kata yang perlu dikeluarkan ibu tiap harinya ;p
  4. Semakin banyak yang aktif sebagai pengurus, fasilitator, dan panitia sehingga ada regenerasi yang memadai. Di program Jumat Hangat bisa diperkenalkan yang aktif sebelumnya sehingga dapat memotivasi member lain untuk ikut andil dalam kegiatan-kegiatan IIP Tangsel baik online maupun offline.
  5. Peserta WAGF dapat tertarik mengikuti matrikulasi dan menjadi member. Misalnya dengan program perkenalan member di WAGF seperti yang tertulis di jobdesk sekretaris atau pendekatan personal bagi member WAGF yang sudah lama.
  6. Kelas matrikulasi dan BunSay atau kelas-kelas IIP berikutnya memiliki kuantitas dan kualitas yang bagus. Ada support grup misal para perangkat kelas tetap menyemangati para peserta agar bertahan sampai akhir kelas. Kalau di BunSay sudah ada timnya, yang di matrikulasi perlu juga sepertinya diadakan :)
  7. Kepengurusan IIP Tangsel dan kepanitiaan event yang sedang berjalan adalah satu tim. Keberhasilan suatu acara didukung oleh kedua pihak tersebut, sedapat mungkin perbedaan yang ada dapat dikomunikasikan secara produktif (komprod) dan diselesaikan sejelas-jelasnya dengan cara yang baik-baik. Hal ini juga berlaku antar pengurus dan member :)
  8. Mengadakan event yang dapat mengundang Bu Septi & Pak Dodik, insya Allah di milad yaa.. aamiin.


Sekian, terima kasih.
Semoga benar adanya ke depan dapat mewujudkan hal-hal yang telah dituliskan di atas. Aamiin.. Mohon doa dan bantuannya ya ibu2 :)


Yang baik dari Allah, yang kurangnya dari saya sendiri, wassalam.


Nika Yunitri

Saturday, December 2, 2017

Game Level 6: Temukan Matematika di Sekitarmu (Day 10)

Hari ini kami sekeluarga ke dokter. Neta, Nara, dan mami diperiksa berurutan. Hahahah.. rombongan :D

Neta masih tampak lemas hari ini, maunya tidur saja. Entah karena keterusan atau bagaimana, dia seperti tidak mau bergerak dan bermain. Waktu mami menyiapkan mainan mata-mataan pun dia malah ngambek. Ya sudah lah.. akhirnya kembali nonton video lagi, masih tentang shape, kesukaan Neta. 

Untuk Nara, belum coba kegiatan lain lagi. Efek weekend, maminya mau agak santai dulu hari ini. Ga apa yaa.. hehe.. :)

#Tantangan10Hari
#Level6
#KuliahBunsayIIP
#ILoveMath
#MathAroundUs

Friday, December 1, 2017

Game Level 6: Temukan Matematika di Sekitarmu (Day 9)

Hari ini Kakak Neta belum membaik juga, masih lemas dan batuk. Alhamdulillahnya hari ini tanggal merah, jadi ada papi yang sangat membantu di rumah. Terima kasih papi.

Kegiatan matematika Neta pun kembali menonton video menarik, karena masih belum memungkinkan melakukan aktivitas seperti biasa. Videonya masih tentang dinosaurus kesukaan Neta, angka-angka, bentuk-bentuk geometri, dan warna-warna.

Sedangkan kegiatan Nara masih sama dengan kemarin, yaitu corat-coret di atas kertas bergambar hewan. Kali ini tidak hanya menggunakan krayon, tetapi juga dengan menggunakan pensil warna dan spidol.

Semoga besok Kakak Neta membaik yaa kesehatannya, aamiin.. Bisa beraktivitas lagi seperti sedia kala :)

#Tantangan10Hari
#Level6
#KuliahBunsayIIP
#ILoveMath
#MathAroundUs