Hari kesepuluh yang melakukan presentasi adalah Kelompok 10, terdiri dari Mba Erna Leri, Mba Fasta Biqil Khairani Tasran, Mba Rizky Ajeng Andriani, dan saya sendiri, Nika Yunitri. Kami berempat sudah sempat membuat materi presentasi bersama-sama secara offline. Sayangnya, HP Mba Ajeng rusak sehingga tidak dapat hadir saat presentasi di grup. Presentasinya sendiri dilakukan kemarin hari Sabtu, 26 Mei 2018, pukul 05.00.
Berikut presentasi Kelompok 10 dengan tema:
Percaya Diri Mendidik Seksualitas Anak di Era Digital
Materi:
Sesi tanya jawab:
1. Yani Indriati
Mba, bagaimana ya menjelaskan tentang seksualitas kepada anak sesuai usia, karena kan selama ini dianggap tabu ya... adakah referensi yang bisa digunakan?
Jawab: (Nika)
Sebelum menjawab, izin menyamakan pengertian seksualitas ya.
Seksualitas bukanlah tentang seks, melainkan dapat berupa pengenalan gender, pemahaman pubertas.
Pengenalan gender dapat dilakukan sejak usia dini seperti: Adik perempuan seperti Ibu, kalau pipis di toilet perempuan ya.
Pemahaman pubertas misal kita bisa masuk ketika anak-anak bertanya.
"Ma, kenapa di ketiak Mama ada rambutnya?"
"Ini salah satu tanda perubahan dari anak-anak menjadi dewasa, Dek. Nanti Adek juga akan tumbuh rambut di ketiak jika umurnya sudah menuju dewasa."
Tambahan: (Mba Fasta)
Tambahan contoh percakapan orangtua-anak:
"Dulu waktu Ayah kecil, Ayah penasaran tentang ... . Waktu itu Ayah tidak bisa bertanya ke siapa-siapa soal ini, malu. Ayah baru tahu pas sudah SMA. Sekarang kalau kamu merasa penasaran soal sesuatu, tanya saja sama Ayah. Ayah janji tidak akan marah sama pertanyaan-pertanyaan kamu.
Tanggapan: (Mba Yani)
Misal ke usia lebih lanjut, bertanya tentang mimpi basah, tentang perasaan ke seseorang, tentang bagaimana proses reproduksi sehingga ada anak.
Usia baligh ini yang kepikiran banget jadi PR, adakah referensi yang bisa di-share dalam menjawab tantangan-tantangan yang sering dianggap tabu itu?
Jawab: (Nika)
Jika anak bertanya, kita tenang dulu, kendalikan diri, tarik nafas, dan cek pemahaman anak.
Lalu kita bisa menjawab dengan jawaban terbaik saat itu, tanpa dilebihkan atau dikurangi. Kemudian jika anak masih ingin tahu, baru kita memperbolehkan bertanya lagi.
Referensinya ada di salah satu sumber bacaan kami:
Tambahan: (Mba Erna)
Ini untuk proses menstruasi yaa..
2. Yunita Daniati
Bagaimana cara menjauhkan anak-anak dari pornografi ketika sedang memegang gadget terkait fitrahnya? Terkadang anak melihat gadget temannya yang tidak diawasi orang tuanya di sekolah dan anak tanpa sadar telah menonton pornografi.
Jawab: (Mba Fasta)
1. Yang paling utama adalah menanamkan pemahaman tentang agama sedini mungkin. Dalam hal ini mengajarkan agama tidak sekedar anak menjadi bisa, misal bisa baca/hafal Al-Quran, orang tua perlu menanamkan secara emosional agar anak menyukai aktivitas itu.
2. Menguatkan bonding antara orang tua dan anak seperti yang pernah di bahas di presentasi-presentasi sebelumnya. Menjalin dan menjaga bonding dengan anak ini sangatlah urgent karena dengan ikatan yang kuat anak akan bisa lebih 'mendengarkan' orang tua.
3. Dengan nilai agama yang baik dan bonding dengan orang tua yang baik pula diharapkan anak sudah dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk.
4. Kehidupan anak di luar ketika jauh dari orgtua bukanlah 'kuasa' kita untuk mencegahnya. Selain tentunya berdo'a ke Allah agar anak-anak kita dijauhkan dari hal-hal buruk dan menjerumuskan, ikhtiar kita membangun value ke anak semoga dapat membuatnya lebih bijak dalam mengambil apa yang baik dan meninggalkan apa yang buruk.
3. Mahargyani Yogyantari
Bagaimana jika anak sudah terlanjur terpapar pornografi?
Jawab: (Nika)
Berikan pemahaman bahwa yang sudah ia lihat tersebut bukanlah hal yang baik. Misal:
"Ma, tadi aku lihat video orangnya tidak pakai baju."
"Wah, Adek lihat dimana?"
"Di HP temen waktu istirahat sekolah tadi."
"Apa yang sedang orang di video tersebut lakukan, Dek? Kok tidak pakai baju."
"Iya, tadi Adek lihat yang laki-laki buka pakaiannya di depan perempuan."
Duh, naudzubillah min dzalik (sambil elus dada) 😭
Tenang dulu Bun, tenang. Lalu kita jawab:
"Wah, tidak boleh itu Dek, kita lihat video seperti itu. Adek saja kalau buka baju menyembunyikan diri kan ya dari orang lain. Lain kali tidak boleh lagi lihat video sepert itu. Kalau diajak teman, jangan mau lagi. Adek main sama teman lain yang baik saja. Atau lapor Bu Guru."
Kita juga bisa komunikasikan dengan gurunya di sekolah.
Tambahan: (Mba Fasta)
Menurut kami yang perlu dilakukan awalnya adalah tetap tenang, kemudian ajak diskusi hangat, minta anak menceritakan pengalaman dan pendapatnya dan kita dengarkan seutuhnya, dengarkan dan dengarkan, kemudian bisa ingatkan dengan 'value' agama dan 'value' keluarga, jelaskan konsekuensi dari paparan pornografi dan 'value' yang tidak terjaga, untuk kasus paparan pornografi yang sudah berat jangan ragu untuk berkonsultasi ke ahlinya (psikolog dan tenaga ahli lainnya).
4. Marisa Andi Bumbung
Era digital ini mempunyai 2 sisi. Baik dan buruk. Sehingga saya sebagai orang tua terkadang merasa parno. Apakah mengizinkan anak mengakses internet atau memberi batasan (misal saat ini anak boleh mengakses internet, hari sabtu dan minggu. Maksimal 1 jam). Padahal teman sebayanya sudah diberikan fasilitas internet tanpa batas.
Saya ingin bisa disiplin, namun dengan kasih sayang kepada anak. Memberi batasan yang tegas, tanpa terkesan kaku dan galak kepada anak.
Kiatnya bagaimana ya?
Jawab: (Mba Fasta)
Betul Mba, ada 2 sisi mata pisau ya dan kita orang tua harus aware.
Kebijakan Mba Marisa membatasi penggunaan gadget kami rasa sudah merupakan bentuk 'sayang' ke anak, kembali lagi ke 'value' yang ada di keluarga Mba Marisa. 😊
Mungkin keluarga lain memiliki 'value' yang berbeda, dan bisa jadi berpotensi mempengaruhi 'value' anak kita ketika berada di lingkungan teman-temannya.
Mungkin yang bisa jadi pertimbangan adalah seperti jawaban poin 2 di atas mba sebagai bentuk ikhtiar kita membangun imun anak mengambil hal baik dan meninggalkan yang buruk. Karena suatu saat memang mereka akan memiliki kehidupannya sendiri, berjuang sendiri di luar sana tanpa ada kita orang tua di dekatnya.
Tambahan: (Mba Erna)
Sedikit tambahan.
Mengenalkan batasan kepada anak sangat penting agar anak dapat mengetahui hal yang boleh dan tidak, tentunya harus disertai dengan penjelasan.
Misal:
Gadget hanya boleh 1 jam saja agar kesehatan mata terjaga lalu anak bisa dialihkan untuk kegiatan lain.
Dan yang terpenting setelah diberikan penjelasan, batasan tersebut disepakati semua pihak.
Kita juga sebagai orang tua harus konsisten. Tegas bukan berarti tega/tidak sayang.
5. Wenti Indrianita
Terima kasih materinya. Mau tanya ya. Menurut kelompok 10, kepercayaan yang seperti apakah yang bisa diberikan kepada anak dalam menghadapi era digital? Terutama jika kelak anak sudah aqil baligh, masuk usia remaja dan mengenal sosial media atau whatsapp misalnya. Apakah meminta password sosial media anak atau mengecek hp-nya diam-diam adalah sesuatu yang baik?
Bagaimana mengarahkan anak agar menggunakan sosial media dengan bijak? Karena sekarang saja banyak sekali trend tak penting yang dilakukan remaja di media sosial. Dan anak bisa terlanjur ikut ikutan sekalipun buat iseng.
Jawab: (Nika)
Memberikan kepercayaan tentunya setelah kita menanamkan value yang baik dalam keluarga ya Mba. Boleh keluar rumah (tidak diam di rumah saja), bergaul dengan berbagai macam orang, sampai rumah apabila anak bercerita kita dengarkan terlebih dahulu (tidak men-judge). Memperbolehkan punya gadget/media sosial sesuai usia. Misal FB min 13 tahun. Izin meminta password bila diperbolehkan atau saling berteman, jadi kita tahu apa yang di-post anak. Kalau diam-diam sebaiknya jangan. Hargai privasi anak. Kalau mau mengecek buka password yang sudah diberikan, bilang dulu.
Bagaimana mengarahkan supaya bersosial media yang baik?
1. Jadilah teladan, orang tua juga harus bijak terlebih dahulu dalam pemakaiannya.
2. Beritahu apa sebaiknya yang boleh dan tidak boleh di-post. Misal yang tidak boleh di-post: no telpon, alamat lengkap, dsb.
3. Tetap memantau. Jika ada post yang tidak baik, bertanya dulu maksud post-nya, dan berikan pengertian post tersebut tidak baik.
6. Yopi Tessa Agustina
Bagaimana kalau anak di rumah sudah dibatasi dalam gadget.
Tapi ternyata di luar, suka ke warnet, main game, karena teman-temannya seperti itu. Sudah beberapa kali diberikan pengertian, malah sembunyi-sembunyi. Bagaimana menyikapinya? Anak usia 11 tahun.
Jawab: (Nika)
- Diberikan alternatif kegiatan positif yang lain. Bisa mengaji, olahraga, musik, seni, dll.
- Dikuatkan family time-nya. Atau misal kegiatan dengan salah satu orang tua: nge-game sama Ayah tapi game yg bermanfaat, didampingi saat main game.
Kesimpulan:
Anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar, terutama tentang seksualitas dan di era digital ini anak-anak dapat dengan mudahnya mencari informasi, sehingga rentan mendapatkan informasi yang salah atau yang tidak sesuai dengan tingkat pemahaman dan umurnya. Sedangkan orangtuanya masih tabu dan kelu untuk membicarakan seksualitas.
Memang, bicara seputar seksualitas dengan anak adalah momen yang sangat canggung tetapi pengetahuan seksualitas yang mumpuni dan keluar dari tabu adalah modal awal orang tua untuk menjelaskan tentang seksualitas.
Pastikan bahwa kita orang tuanya adalah sumber pertama dan utama yang siap menjawab dengan pengetahuan yang benar dan terpercaya anak dalam memahami seksualitas.
Studi kasus dari Teh Chika:
Saya mau ikut tanya/minta saran aja ya.. 🙏🏻
Sejak bunsay #1, saya meminta saran atas kasus ini,
Anak didik di TBM yang saya fasilitasi usianya 12 tahun, perempuan.
Ia sangat tomboi, bukan hanya dalam sikap atau sifat, tapi secara jasmani ia belum ada tanda-tanda pubertas.
Suaranya bahkan semakin lama semakin berat, seperti laki-laki.
Saat ada sesi curhat, saya sering mengecek perkembangan pubertas anak-anak, dan anak tersebut dengan tegas menolak:
"Aku tidak mau menstruasi, aku juga tidak mau seperti perempuan."
Tapi dia masih suka ke masjid pakai mukena, tapi setelah shalat langsung bergabung dengan anak laki-laki.
Apa yang bisa saya lakukan sebagai "orang lain" dan topik apa yg bisa didiskusikan, namun tidak menyinggungnya.
Hasil diskusi studi kasus:
Pengalaman menjadi tomboi-nya sedikit melegakan dan membuat harapan dan semangat saya muncul kembali..
📌 accepting
📌 perdalam ikatan emosional
📌 menjadi sahabatnya
📌 menghadirkan sosok yang keren versi dia? 😅 Biar termotivasi begitu.. Karena kami punya rekan fasilitator laki-laki yang jadi idola, tapi cuma hadir beberapa bulan sekali. Dan anak-anak memang maunya nempel saja kalau yang keren ini hadir.
Kesimpulan dari saya:
Pendidikan seksualitas bukanlah hal yang tabu untuk dibicarakan kepada anak-anak. Malah orang tua harus siap membekali anak-anak dengan pendidikan ini untuk kebaikan masa depan mereka. Jadilah teman bagi anak-anak, siapkan masa pubertas mereka. Senantiasa dampingi pula dalam setiap aktivitasnya di era digital ini. Teknologi bagaikan 2 sisi mata logam. Ada kebaikan dan keburukan di dalamnya, tetapi manusia sendirilah yang menentukan apakah teknologi menjadi kebaikan atau keburukan bagi dirinya dan keluarganya.
#Tantangan10Hari
#Level11
#KuliahBunsayIIP
#LearningByTeaching
#FitrahSeksualitas
No comments:
Post a Comment